Kurang dari 10 hari jelang berakhirnya pengampunan pajak periode pertama, pemerintah kian royal merelaksasi aturan demi melapangkan jalan repatriasi di dalam maupun luar pasar keuangan.
Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Robert Pakpahan mengatakan, ada enam aspek yang akan menjadi bagian dari penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 119/PMK.08/2016—yang telah diubah dengan PMK No. 123/PMK.08/2016— dan PMK No. 122/PMK.08/2016.
“Bukan kami mau mengubah-ubah, tetapi ini penyempurnaan dan diharapkan bisa menjawab keragu-raguan wajib pajak (WP) dan dalam beberapa hari ini bisa langsung menyampaikan surat pernyataan,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (21/9).
Bentuk harta yang bisa direpatriasi bukan hanya sebatas dana, tetapi juga mencakup investasi global bonds/global sukuk yang diterbitkan di pasar internasional, baik oleh pemerintah maupun emiten.
Karena penatausahaan dari obligasi tersebut dilakukan oleh kustodian di luar wilayah Tanah Air, repatriasi dianggap terjadi apabila mengalihkan penatausahaannya ke kustodian bank persepsi yang ditunjuk sebagai gateway.
Repatriasi, sambung Robert, bisa dilakukan secara bertahap hingga tenggat. Namun, perhitungan holding period tiga tahun dihitung sejak seluruh dana repatriasi—yang nilainya ada dalam surat keterangan pengampunan pajak (SKPP)—telah disetor seluruhnya.
Adapun dana hasil repatriasi yang langsung dimasukkan ke sektor riil dalam Perseroan Terbatas (PT) tidak perlu diawasi. Artinya, hak penggunaan dana investasi—berupa penyertaan modal— diberikan sepenuhnya kepada perusahaan.
“Yang perlu diawasi gateway adalah sepanjang dana tersebut ditanamkan ke perusahaan lain,” imbuhnya.
Tidak tanggung-tanggung, pemerintah juga melonggarkan ketentuan penarikan keuntungan hasil investasi dana repatriasi. Sebelumnya, keuntungan dapat ditarik setiap triwulan pertama pada tahun berikutnya atau pada saat jangka waktu minimal sejak dana ditempatkan di rekening khusus telah berakhir.
Dalam rencana revisi beleid itu, ujar Robert, pemerintah menghilangkan batasan waktu tersebut. Setelah mendengar ma sukan beberapa pelaku usaha dan gateway, keuntungan itu bisa diambil sewaktu-waktu sesuai keinginan WP. Risiko penarikan keuntungan—yang selama ini dikhawatirkan pemerintah— ternyata bisa dimitigasi.
Hal ini dikarena kan dana pokok yang diinvestasikan dalam deposito maupun obligasi, misalnya, tidak akan hilang karena pengambilan keuntungan hanya berupa bunga atau kupon.
Selain merelaksasi beberapa ketentuan terkait investasi harta repatriasi, pemerintah juga merelaksasi ketentuan teknis terkait pengampunan pajak.
Suryo Utomo, Staf Ahli Menkeu Bidang Kepatuhan Pa jak mengatakan salah satunya berkaitan dengan ketentuan penyampaian posisi investasi.
Dalam pasal 38 PMK No. 118/ PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 11 /2016 tentang Peng ampunan Pajak, WP harus menyampaikan laporan realisasi investasi dan penempatan harta kepada Dirjen Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Laporan itu disampaikan secara berkala setiap enam bulan selama tiga tahun dan di berikan paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya setelah periode berakhir. Suryo mengatakan nantinya batas wak tu pelaporan akan direlaksasi menjadi satu tahun.
“Bisa terjadi juga paling lambat saat penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, kelonggaran juga diberikan pada ketentuan penyampaian daftar rincian harta dan utang yang dalam aturan saat ini wajib berupa salinan digital (softcopy) dan formulir kertas (hardcopy).
Bagi WP yang memiliki rincian harta dan utang kurang dari 20 item, lanjut Suryo, tidak akan diwajibkan menyampaikan salinan digital.
Hanya dengan formulir kertas, surat pernyataan harta (SPH) bisa diterima. Langkah ini di sebut sebagai salah satu upaya memperluas akses WP berpartisipasi.
Sementara itu, bagi WP yang sudah terlan jur memasukkan SPH, bisa juga menca butnya. Apalagi, bagi masyarakat yang se benarnya masih memiliki penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
“Kalau enggak salah bagi SKPP ya ng terbit sebelum 31 Oktober yang su dah ikut dan merasa tidak perlu bisa mencabut surat pernyataannya.”
Terkait dengan perusahaan cangkang, pemerintah menyebutkan wajib pajak yang enggan membubarkan special purpose vehicle tidak aktif saat mengikuti kebijakan pengampunan pajak akan dikenai tarif uang tebusan kelompok tinggi.
Hal ini dikarenakan wajib pajak dianggap tidak merepatriasikan hartanya. Karena special purpose vehicle (SPV) jenis ini tidak dibubarkan, Astera Primanto Bhakti, Staf Ahli Menkeu bidang Kebijakan Penerimaan Negara mengartikan asetnya masih berada di luar negeri dan akan tetap di sana.
“Karena dia tidak dibubarkan berarti asetnya adanya di luar negeri. Jadi, kita melihatnya begitu makanya kita anggap ini deklarasi luar negeri,” ujarnya.
Konsekuensi tersebut diberikan sebagai salah satu bagian dari relaksasi perlakuan SPV tidak aktif yang dalam aturan sebelumnya, Peraturan Menteri Keuangan No. 127/PMK.010/2016, wajib dibubarkan. Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah melunak dengan ketentuan ini.
Prima mengakui ada dinamika yang terjadi di lapangan terkait SPV tidak aktif. Salah satu kondisi yang membuat SPV tersebut tidak bisa bubar yakni akan digunakannya kembali perusahaan tersebut untuk mencari pembiayaan baru.
Ada pula SPV yang dibentuk oleh sejumlah WP yang kemungkinan besar tidak bisa dibubarkan secara sepihak.